Rabu, 25 Februari 2015
Wajib Mencegah/Mengingkari Setiap Kemungkaran Walaupun Hanya Lewat Hati!
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah rahimahullah beliau mengatakan: Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diharuskan atas kalian dari urusan jihad adalah berjihad dengan tangan-tangan kalian, kemudian berjihad dengan lisanl-isan kalian, kemudian berjihad dengan hati-hati kalian. Maka barangsiapa yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, hati itu akan terbalik. Bagian atasnya menjadi bagian bawahnya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mendengar seseorang berkata: “Binasalah orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah yang mungkar.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menimpali: “Binasalah siapa saja yang hatinya tidak dapat mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar.”
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan: “Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengisyaratkan bahwa mengetahui perkara yang ma’ruf dan yang mungkar dengan hati merupakan perkara yang wajib. Tidak gugur kewajiban tersebut dari seorangpun. Maka barangsiapa yang tidak dapat mengenalinya, dia akan binasa. Adapun mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tangan, kewajiban tersebut hanyalah disesuaikan dengan kemampuan.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: ‘Hampir-hampir saja orang yang hidup di antara kalian akan menyaksikan kemungkaran yang tidak mampu untuk diingkarinya, hanya saja Allah mengetahui dari hati orang tersebut bahwa dia sangat membenci kemungkaran itu’.”
Barakallah fiikum
Wallahu a'lam bish shawab
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 258-259)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 59/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf)
Senin, 09 Februari 2015
Beginilah Akibat Beramal Tanpa Ilmu
Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah kepada para sahabat pada hari Idul Adha setelah mengerjakan shalat Idul Adha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
“Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.”
Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ
“Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat Idul Adha.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ
“Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing kurban).” (HR. Bukhari no. 955)
Sepertini inilah kisahnya..seorang yang beramal tanpa di barengi dengan pemahaman dan pengetahuan seperti yang ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.Maka ia tidak akan mendapat keutamaan apa-apa.Walaupun niatnya sudah benar tapi kalau caranya salah amalannya akan sia-sia dan tertolak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)
Jika sampai menyelisihi sunnah dan cara penerapannya bertentangan Al-Qur'an dan hadist,maka amaliyahnya termasuk amaliyah Sesat.Dan setiap kesesatan yang dilakukah orang tersebut tempat kembalinya nanti di hari kiamat adalah di neraka jika ia tidak segera menyadari kesalahannya dan bertaubat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka".(HR An-Nasaai no 1578)
Tidak berhenti sampai disitu,apabila amaliyah sesat itu ia sebarkan,dan dengannya ia mengajak orang lain melakukan sepeti yang ia lakukan,maka akan menjadi dosa jariyah dan akan terus mengalir amalan dosa dosa itu kepadanya walaupun ia sudah meninggal sehingga akan terus menjadi beban untuknya.Dan dia akan menghadap kepada Allah Azza Wa Jalla dengan membawa banyak dosa...Na'udzubillah..
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
Orang yang beramal tanpa ilmu dan tanpa merujuk merujuk pada Al-Qur'an dan hadist,mereka itu termasuk orang orang yang merugi dan sia sia apa yang sudah ia usahakan selama di dunia.
Dalam ayat Al Qur’an disebutkan,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Ibnu Mas'ud berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi 1: 79. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayyid)
Saudara-saudariku,beramal itu tidak cukup hanya dengan niat baik saja,tapi juga harus sesuai dengan syariat.Sebenarnya penyelesaian masalah seperti ini sangalah simple.Ikuti saja amaliyah yang dilakukah generasi umat islam sebelumnya.Lakukan semampunya dan jangan di tambah-tambahi.Karena generasi pertama umat islam adalah generasi terbaik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
"pada masaku" Yaitu para sahabat, "kemudian orang-orang setelah mereka" yaitu at-tabi’un, "lalu orang-orang yang setelah mereka" yaitu atba’u tabi’in (para pengikut tabi’in).
Wallahu a'lam bish shawab
Sabtu, 07 Februari 2015
Bercadar?Kenapa Harus Takut!?
Assalamualaikum warrahmatullahinwabarakatuh
HUKUM MENUTUP WAJAH (Bercadar) UNTUK MUSLIMAH
"Batman,Ninja,Teroris,penganut jihad sex,berlebihan,merusak pemandangan,aliran fundamentalis dll"
.Mungkin ini sebagian olok olok orang orang apabila melihat muslimah menutup wajahnya dengah cadar.Sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia masih tabu dengan yang namanya cadar,begitu pun para muslimah.Sebagian dari mereka menganggap itu hal yang asing,aneh,dan 'Terlalu' tertutup.Menganggap bercadar itu sebagai budayanya orang-orang Arab atau golongan tertentu saja.Padahal yang namanya bercadar itu ada dalam hukun syariat.
Bercadar itu bukanlah budayanya orang-orang arab,bukan juga kebiasaan orang orang salafy saja,tapi bercadar itu syariat untuk semua wanita muslimah.Maka dari itu saya mengangkat tema ini,untuk meyakinkan kepada umat islam bahwa tidak ada yang salah dengan yang namanya bercadar,tidak perlu mengatakan aneh,dan tidak perlu berprasangka jelek kepada mereka yang memakainya.Kalau mau su'udzon, su'udzonlah kepada wanita wanita yang berjilbab tapi masih memperlihatkan lekuk tubuhnya ,memberi "hidangan" syahwat kapada laki laki yang melihat.
Hukum bercadar berlandaskan Al-Qur'an,Hadist,dan pemahaman 4 madzab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hlm. 51 karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaidrahimahullah)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (sampai) ke dadanya.” (An-Nur: 31)
Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, ” Kami biasa
menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut. ” (Riwayat Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim : ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita generasi awal kaum Anshar. Ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (sampai) ke dadanya.” (An-Nur: 31), maka mereka langsung memotong-motong kain mereka dan berikhtimar (menutup wajah) dengannya.” (Riwayat. Al-Bukhari, no. 4480)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan makna berikhtimar dalam hadits di atas adalah, “Para wanita sahabat Anshar menutup wajah mereka.” (Fathul Bari, 8/490)
Juga hal ini dipraktekan oleh orang-orang sholeh,sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, ”Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya
sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ’Semoga Allah merahmati engkau. …’ (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad shohih)
PANDANGAN 4 MADZHAB TENTANG MENUTUP WAJAH BAGI MUSLIMAH (CADAR)
Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
* * Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?
Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi (asing) adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi (Asing) yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
Madzhab Hambali
* Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
* Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi (orang asing/Orang yang tidak di kenal)” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)
Dengan demikian menjadi teranglah permasalahan umat tentang hukum wanita yang bercadar.Wanita muslimah yang bercadar,menutup semua auratnya itu insyaallah wanita yang mulia,mereka ibarat berlian yang terjaga dan jauh dari tatapan birahi orang-orang.Dipandang saja tidak,apalagi disentuh..
Semoga tulisan ini bisa memberi manfaat,ditengah maraknya fitnah dan olok-olok terhadap orang yang menjalankan syariat islam yang satu ini,dan agar mereka yang menjalankan diberi kekuatan dan ketabahan.
Ketahuilah wahai wanita muslimah,kain yang menutup wajahmu justru membuat banyak lelaki yang mukmin memperhatikan dan mengagumimu.Kalian itu berharga,jangan merasa rendah,jangan pula merasa tertekan..justru harusnya kalian bangga dan bersyukur,karena Allah Ta'ala memberi kalian kemampuan untuk menjalankan sunnah dan syariat islam disaat banyak wanita yang meninggalkannya.
Wallahu a'lam bish shawab
Wassalamualaikun warrahnmatullahi wabarakatuh.
Selasa, 03 Februari 2015
Memahami Bentuk dan Pembagian Sunnah
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Sunnah adalah kata Arab yang berarti "kebiasaan" atau "biasa dilakukan".[Secara istilah sunnah adalah jalan yang di tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun penetapan.
Dilihat dari bentuknya,sunnah di bagi menjadi 4 yaitu sunnah Qawliyah,Sunnah Fi'liyah,sunnah Taqririyah dan sunnah khulufaur rasyidhin.Sunnah Qawliyah,Fi'liyah dan Taqririyah ini adalah sunnah yang terbentuk saat Rasulullah saw masih hidup,sedang sunnah khulufaur rasyidhin terbentuk saat Rasulullah saw telah wafat.
Penjelasan Tentang Bentuk Sunnah
---Pertama,Sunnah Qawliyah yaitu sunnah Nabi yang hanya berupa ucapannya saja baik dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan.
Sunnah semacam ini sangat banyak dalam hadist hadist Rasulullah saw,Salah satu Contoh Qawliyah yaitu Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam,
"Orang Islam adalah saudara orang Islam yang lain, ia tidak menganiaya dan tidak menyerahkannya kepada musuh, barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya, barangsiapa menghilangkan kesusahan orang Islam maka Allah menghilangkan kesusahan darinya dari beberapa kesusahan hari kiamat, dan barangsiapa menutupi (aib) orang Islam maka Allah menutupinya (aibnya) pada hari kiamat" (HR. Bukhari, Ahmad dan Muslim)
---Kedua,Sunnah Fi’liyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat manasik hajji dan lain-lain.
Jadi Sunnah Fi'liyah ini adalah perkataan para sahabat Rasulullah yang melihat perbuatan/ibadah Rasulullah,lalu sahabat ini menceritakan kepada orang lain,seperti cara wudhu Rasulullah,cara shalat,dll.
Salah satu Contoh sunnah Fi'liyah dalam sebuah hadist
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri, mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah”, hingga terlihat putihnya pipi beliau.” (HR. Nasai, Abu Daud)
---Ketiga,Sunnah Taqririyah, yaitu sunnah Nabi yang berupa penetapan Nabi terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi tidak menegornya atau melarangnya bahkan Nabi cenderung mendiamkannya.
Jadi sunnah Taqririyah ini adalah amaliyah para sahabat yang tidak keluar dari syariat saat Rasulullah masih hidup dimana Rasulullah tidak menganjurkannya,tapi ketika mengetahuinya Rasulullah tidak melarang.Terkadang ada segelintir orang yang keliru menafsirkan amalan sunnah Taqririyah ini dan menganggapnya sebagai bentuk Bid'ah,padahal tidak demikian.
Untuk sunnah Taqririyah ini saya akan beri 4 contoh tentang penetapan Nabi terhadap perbuatan sahabat yang mana Nabi menyetujui,membenarkan,tidak melarang dan mendiamkan.
Ada sahabat yang membaca. "Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih" ketika i’tidal. Selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa yang tadi membaca doa i’tidal tersebut?” Salah seorang sahabat mengaku. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya melihat ada 30 lebih malaikat yang berebut mengambil bacaan ini. Siapa diantara mereka yang paling cepat mencatatnya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan yang lainnya).
Dari A'isyah r.a., bahwasanya Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam pernah mengutus seorang shahabat dalam sebuah pertempuran. Lalu dia mengimami sholat dan selalu membaca surat Al-Ikhlas. Tatkala mereka kembali dari pertempuran mereka adukan hal tersebut kepada Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam. Beliau bersabda: "Tanyakan kepadanya apa yang melatarbelakangi dia berbuat seperti itu, merekapun menanyakannya. Lalu dia pun menjawab: "Karena sesungguhnya surat Al-Ikhlas itu mengandung sifat yang dimiliki oleh Ar-Rohman (Alloh SWT) dan aku suka untuk membacanya. Maka Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Kabarkan kepadanya bahwa Alloh subhanahu wata'ala mencintainya" (HR. Al-Bukhari no.7375)
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bertanya pada Bilal setelah salat Subuh: Wahai Bilal, ceritakan pada saya amal apa yang paling kamu harapkan yang telah kau kerjakan dalam Islam. Sebab saya mendengar langkah sandalmu di hadapan saya di surga. Bilal menjawa: Tidak ada amal yang paling saya harapkan selain saya tidak pernah bersuci baik siang atau malam kecuali saya salat (sunah) sesuai yang dicatat pada saya" (HR al-Bukhari No 1081)
ketika dihidangkan kepada beliau makanan daging biawak oleh sahabat Khalid bin Walid, dalam salah satu jamuan makan. Beliau bersama para undangan dipersilakan makan, namun beliau menjawab: “Tidak (maaf). Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya.” Kata Khalid: “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah saw. melihat kepadaku (Nabi mendiamkan).” (HR Bukhari dan Muslim)
---Keempat,Sunnah khulafaur rasyidin
Berdasarkan sabda Rasulullah ,
"Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.,"(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
as-Sindi ketika menjelaskan hadis tersebut di dalam Sunan Ibnu Majah,
“Dikatakan mereka itu (khulafa’ur-Rasyidin) adalah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali), dan dikatakan bahkan mereka itu adalah khalifah yang empat dan siapa saja yang menempuh jejak mereka dari para Imam (pemimpin) Islam yang berijtihad (mujtahidin) dalam hal hukum, maka sesungguhnya mereka itu adalah khulafa’ur-Rasul (pengganti Rasulullah Saw.) yang meninggikan kebenaran, menghidupkan agama, dan membimbing umat kepada jalan yang lurus.”
sunnah khulafa’ur-Rasyidin adalah hasil ijtihad sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dan oleh Rasulullah hal itu di tetapkan termasuk bagian dari sunnah yang harus kita ikuti.
Contoh sunnah khulufaur Rasyidhin yaitu
#KeKhalifahan Abu Bakar
Pengumpulan Al-Qur an dalam satu mushaf
Gagasan ini merupakan masukan ‘Umar. Pada mula Abu Bakr menolak, namun akhirnya ‘Umar dapat meyakinkannya sehingga ia memutuskan untuk melakukan jam’u al-Qur’an fi mus}h}af wa>hid karena dirasakannya manfaat yang besar dan kerugian yang besar bila tidak dilakukan
#Kekhalifahan Umar Bin khatthab
Shalat Tarawih berjama'ah dengan mengangkat satu orang sebagai Imam Shalat
Sebenarnya shalat tarawih baik sendirian maupun berjamaah ada dalilnya dari Rasulullah,jadi sah-sah saja mengerjakan Tarawih sendirian atau jama'ah..Akan tetapi menginstruksikan agar shalat tarawih dikerjakan berjamaah dengan satu imam dalam masjid,Umar bin Khatthab RA adalah pelopornya.
Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata :
“Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar :
“Sebaik-baik bid’ah, adalah seperti ini”.
Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang”
Yang beliau maksudkan yaitu mereka yang shalat di akhir waktu malam. Sedangkan orang-orang tadi shalat di awal waktu malam”
Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha (I : 136-137), demikian juga Al-Bukhari (IV : 203), Al-Firyabi (II : 73, 74 : 1-2).
#Kekhalifaan Ustman Bin Affan
Adzan 2 kali ketika shalat jum'at
“Dari Az Zuhri, dia berkata, “Aku mendengar As Sa’ib bin Yazid mengatakan, “Adzan pada hari Jum’at semula dilaksanakan keytika imam duduk di atas mimbar pada masa Rasulullah , Abu Bakar dan Umar. Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan jumlah jamaah semakin banyak, Utsman memerintahkan pelaksanaan adzan ketiga. Maka adzan ketiga itupun dilaksanakan di atas pasar Zaura’ lalu berlangsung hingga seterusnya”
Yang dimaksud dengan “adzan ketiga” adalah adzan sesaat menjelang khatib naik mimbar. Sedangkan adzan pertama adalah adzan setelah khatib duduk di mimbar dan adzan kedua adalah Iqamah.(Shahih Al-Bukhari)
#Kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib
Shalat sunnah sebelum dan sesudah Shalat Id
Dari Walid bin Sari' budak yang dimerdekakan oleh 'Amr bin Huraits. Ia berkata: Kami keluar bersama Amiril Mu'minin Ali bin Abi Thalib pada hari raya. Kemudian sekelompok sahabat bertanya kepada beliau: Wahai Amiril Mu'minin, apa pendapatmu tentang salat pada hari raya setelah imam naik ke mimbar atau sebelumnya? Beliau tidak menjawab sedikitpun. Kemudian sekelompok yang lain datang dan bertanya tentang hal tersebut. Beliau juga tidak menjawabnya. Kemudian kami berdiri untuk salat, beliau menjadi imam, lalu bertakbir 7 kali dan 5 kali dan dilanjutkan dengan khutbah. Setelah selesai beliau turun dan menaiki kendaraannya, sekelompok kaum bertanya: Wahai Amiril Mu'minin, mereka ini sekelompok kaum yang salat (qabliyah atau ba'diyah). Ali menjawab: Saya bukannya menolak. Kalian bertanya tentang sunah. Sesungguhnya Nabi Saw tidak melakukan salat sebelum dan sesudah hari raya. Siapa yang mau silahkan kerjakan. Siapa yang tidak mau silahkan tinggalkan. Tahukah kalian jika aku melarang orang salat, maka saya digolongkan sebagai 'orang yang melarang salat terhadap orang lain'. Al-Bazzar berkata: Kami tidak mengetahui sanad ini tersambung dengan Ali kecuali melalui jalur ini" (al-Hafidz al-Haitsami, Kasyfu al-Astar bi Zawaid al-Bazzar I/251)
Hukuman peminum khamar
Ali bin Abi Thalib melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu mengqiyaskan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf(menuduh orang lain berzina). Alasan Ali bin Abi Thalib adalah bahwa sesorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila dia mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina. Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang yang meminum khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina.
Demikianlah pembahasan tentang bentuk sunnah dan penjelasannya,agar kita tahu batasan sunnah yang ditetapkan dalam ajaran dan syariat islam,sehingga kita tidak melakukan amalan diluar dari yang disyariatkan.
Wallahu a'lam bish shawab..
Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
(Dirangkum dari Berbagai Sumber)
Senin, 02 Februari 2015
Ilmu,Kewajiban dan Keutamaannya
Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun mungkin tidak.
Kewajiban Mempelajari Ilmu Agama
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Ilmu apa yang di maksud ?
Firman Allah Ta'ala
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)
maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ، وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ النَّقَائِض
“Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (…. sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir 25).
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR Bukhari dan Muslim).
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surge,” (HR Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya,” (HR Bukhari )
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah).
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata,
تَعَلَّمْ الْعِلْمَ فَإِنَّ تَعَلُّمَهُ لَكَ حَسَنَةٌ ، وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ ، وَمُذَاكَرَتَهُ تَسْبِيحٌ ،
وَالْبَحْثَ عَنْهُ جِهَادٌ ، وَتَعْلِيمَهُ مَنْ لَا يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ ، وَبَذْلَهُ لِأَهْلِهِ قُرْبَةٌ .
"Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).”( Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj)
Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi nasehat kepada para penuntut ilmu agama,beliau mengatakan,
"Betapa indahnya perkataan penyair, ilmu adalah firman Allah dan sabda rasul-Nya. Demikian pula perkataan shahabat. Ini adalah suatu hal yang jelas. Bukanlah ilmu sikapmu yang dengan kebodohan mempertentangkan hadits Nabi dengan pendapat ulama. Sekali-kali tidak, bukanlah termasuk ilmu menolak dan mengingkari sifat Allah karena khawatir menyamakan dan menyerupakan Allah dengan makhluk”
(Fawaid hal 105).
Jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah Ta’ala,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)
Nasehat saya,banyaklah membaca dan banyaklah mendengarkan perkataan orang yang berilmu niscaya akan bertambah pengetahuan anda..Ilmu itu di dapat dari membaca dan mendengar,bukan dari bicara.Dan jangan lupa untuk mengamalkan ilmu yang anda pelajari
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa:
“Barangsiapa yang berusaha mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allah akan menunjukkan mereka apa yang belum mereka ketahui”
Setiap kebaikan yang kita lakukan,akan membukakan pintu bagi kita menuju kebaikan yang lain.
Wallahu a'lam,bish shawab..
Langganan:
Postingan (Atom)